Jumat, 27 Januari 2012

“They Are Not My Friends”

Karya: Atri Rahma Citra

Kata orang, sahabat itu segalanya?

Katanya, Sahabat ada disaat kita suka maupun duka?

Oh ya? Viella meragukannya.

“Happy Birthday sayang!” Mama dan papa mengecup pipiku setelah mengucapkannya, aku hanya bisa tersenyum bahagia.

“Thanks ma, pa!” Ya! Ini adalah hari ulang tahunku yang ke 15 kalinya, dan yang paling kusuka adalah pergi ke ruang keluarga untuk membuka kado. Benar saja, Di depan mataku terlihat kardus kecil berbalut kertas berwarna pink dengan pita merah di atasnya, aku tersenyum memandang mama dan papaku tersayang sebelum membukanya. Aku menutup mataku, lalu, perlahan-lahan aku melepas pita lalu merobek kertas kadonya, kubuka pelan-pelan tutup kardus itu dan dengan hati yang berdegup kencang ku buka kedua mataku dan tepat satu detik setelahnya, aku melihat sebuah benda persegi panjang dan lumayan berat, baru kusadari beberapa detik setelahnya bahwa itu… itu… itu I-Phone. Oh My God! Aku sangat menginginkan benda itu, oh betapa bahagianya aku. Walaupun aku tergolong keluarga yang kaya raya, tapi jujur saja, aku belum memiliki I-phone dan hari ini… tepat beberapa detik yang lalu, aku memilikinya. Kupandang wajah mama dan papa bergantian, lalu secuil perasaan bersalah muncul pada benakku. Ya, aku tahu, usaha papa mulai bangkrut akhir-akhir ini, dan mereka mau membelikan i-phone yang ku inginkan, padahal harga i-phone tidak semurah bagi keluargaku setelah usaha papa bangkrut. Aku berlari memeluk mama dan papa bergantian lalu mengucapkan terima kasih.

***

“Viel! Tunggu” aku mendengar teriakan ke-3 sahabatku, mereka berlari menghampiriku.

“Emh, nanti… jadi ke Hokben nggak?” Tanya Ajeng kepadaku. Aku heran, ini kan hari ulangtahunku? Kenapa mereka tidak mengucapkan selamat? Kulihat Ajeng, Fera, dan Meli menyunggingkan senyum yang membuatku curiga. Aku hanya diam mematung, tak tau harus berkata apa. Ku akui, aku berniat membatalkan janjiku untuk mentraktir mereka, karena aku tahu aku sudah bukan orang kaya lagi.

“Emh… emh…”

“Aku tahu kok, kamu enggak bakal ngajak kita.” Meli berkata padaku dengan nada mengejek.

“Yaudah ya bye Vie!” Mereka tertawa dan berlari meninggalkanku, aku hanya meremas tangan dan berjalan menuju kantin. Ini hari ulangtahunku yang buruk, pikirku. Setelahnya, aku berjalan menuju ruang kelas dan aku mendapati ke- 3 sahabatku tertawa gembira, aku langsung menghampiri mereka (setelah membuang kekesalanku).

“Hai! Lagi ngobrol apa nih?” Tanyaku sambil menatap mata ke-3 sahabatku bergantian.

“Oh… nggak apa-apa kok!” Jawab Fera dengan nada acuh. Aku terdiam beberapa saat. Kuukir kembali kenanganku bersama Fera, Ajeng, dan Meli, sangat indah. Namun hari ini, apa maksudnya? Membuatku kesal tiba-tiba, huuh.

“Emang kenapa? Penting ya buat kamu?” Kali ini darahku membeku mendengar timpalan Ajeng, aku sudah tidak kuat lagi menahannya.

“Kalian kenapa sih? Aku salah ya?” Aku mengulang kembali ingatanku beberapa hari yang lalu, mungkin memang ada kesalahanku yang membuat mereka sakit hati. Tapi, aku tidak menemukan di mana letak kesalahanku, bukannya aku tidak mengakuinya, tapi aku benar-benar tidak menemukan kesalahanku. Kulihat saat itu juga Meli mencibirkan bibirnya ke arahku, dan pandangannya menyatakan kejijikan. Aku benar-benar muak melihatnya.

“Nggak! Kamu nggak salah kok, itu nasib aja.” Mereka berlalu pergi, aku segera berlari menuju rumahku, benih-benih air mata menghiasi pipiku perlahan-lahan. Setelah sampai di rumah, aku berlari menuju kamar tidurku dan menghempaskan tubuhku di kasur. Aku benar-benar tidak menyangka ke-3 sahabatku melakukan itu padaku, padahal seharusnya aku menerima ucapan selamat dan kado-kado cantik dari mereka. Aku mengambil fotoku dan ke-3 sahabatku, di sana terlihat sunggingan senyum gembira di bibir kami. Aku tidak kuat menahannya, jadi kuputuskan untuk memejamkan mataku yang basah oleh air mata.

Pukul 4 dini hari, aku melihat papa-ku berbicara dengan orang berjas hitam, di sampingnya terdapat sebuah mobil Jaguar milik keluarga kami. Aku tahu apa yang terjadi, Jaguar itu dijual untuk melunasi hutang-hutang papa-ku yang nominalnya tidak kuketahui. Aku tertunduk lesu, hari ini adalah hari ke-5 setelah hari ulangtahunku kemarin, dan aku tidak melihat perubahan pada sahabatku. Pada awalnya, aku sudah ke geer-an karena kupikir mereka hanya mengerjaiku dan akhirnya mereka memberikan surprize untukku. Tapi ini adalah kenyataan, bukan seperti di dongeng-dongeng atau di cerita-cerita yang pernah kubaca, dimana saat pelaku utamanya ulangtahun, sahabatnya cuek padanya dan ternyata itu hanyalah iseng-iseng untuk mengerjai orang yang sedang ulangtahun. ‘Huh dasar! Ajeng jelek… Fera jelek… Meli jelekkk!!!’ aku memaki-maki mereka dalam hati.

“Whatever! Aku nggak peduli sama kalian” aku mengucapkannya dengan keras pada sahabatku di halaman sekolah.

“Oh ya? Setelah mobil Jaguar-mu dijual ya?” Aku benar-benar tercekat mendengar Ajeng mengatakannya, mengapa mereka bisa tahu? Setahuku, mereka tidak mengetahui tentang masalah keluargaku. Aku hanya bisa berdiri mematung memandangi mereka.

“Mengapa…kalian bisa tahu?” aku mencoba berbicara setelah mematung beberapa menit.

“Kita kan sahabat Vie! Kita tahu donk!” aku benar-benar dibuat bingung oleh kata-kata yang baru saja meluncur dari mulut Fera, ‘Kita kan sahabat?’ jadi mereka masih menganggapku sahabat? Aku sendiri tidak yakin, dari nada bicara Fera barusan, ia mengatakannya seperti sedang mengasihaniku. Tapi sebesit perasaan bersalah muncul di benakku, aku sudah menjelek-jelekan mereka, tapi mereka masih menganggapku sebagai sahabat.

Sepulang sekolah, aku mendapat telpon dari Danish pacarku. Beberapa hari ini aku tidak melihatnya, dia juga tidak menelponku sebelumnya, jadi aku tersenyum riang di atas keperihan hatiku.

“Halo Vie.” Suara Danish terdengar berat dari seberang sana.

“Halo Dan! Ada apa?”

“Vie, aku… aku nggak bisa lagi.” Terdengar suara parau dari Tenggorokan Danish.

“Kamu nggak bisa apa? Maksudmu gimana?” Aku bingung, tidak seperti biasanya Danish seperti ini.

“Ada orang lain di hati aku Vie.”

“Apa? Kenapa? Maksud kamu apa Dan?”

“Maafkan aku, kita lebih baik berpisah.” Kudengar nada bersalah dari cara bicaranya.

“Danish? Kamu serius? Tapi nggak bisa langsung gini donk!”

“Enggak Viel, aku benar benar mencintai orang itu. Mafkan aku.” Klik. Aku benar-benar terpukul, biasanya di akhir pembicaraan dia mengatakan ‘I love you’ dan aku menjawab ‘I love you too’ tapi kali ini kami berpisah, aku tidak bisa menerimanya. Aku benar-benar menyukai Danish sepenuh hati, tapi ternyata dia mencintai orang lain. Sempurna sudah penderitaanku di umur 15 tahun 5 hari ini, apakah aku memang di kutuk? Aku menjatuhkan diriku di bawah pohon petai china. Biasanya aku curhat kepada sahabat-sahabatku tentang masalah pacar, tapi justru aku sedang bertengkar dengan mereka, atau aku menangis di pundak mama, tapi aku tahu pikirannya sudah berat memikirkan hutang-hutangnya. Aku benar-benar bingung harus berbuat apa, lalu tiba-tiba ada sebuah ide konyol, yaitu menelpon Fera yang jelas-jelas sedang bertengkar denganku. Tapi diantara ke-3 sahabatku, Fera-lah yang paling dekat denganku. Dan, mungkin masih ada harapan untuk berbaikan dengannya. Jadi kulakukan ide konyol tersebut. Kudengar suara ‘truuut…truuut…truut…,’

“Halo.” Fera menjawab telponku dengan suara datar. Di seberang sana juga terdengar suara berisik yang aku yakin itu adalah suara Ajeng dan Meli, jadi intinya mereka bertiga sedang bersama-sama sedangkan aku duduk lemas menanggung keperihan.

“Fera… aku... aku butuh kamu sekarang, aku pingin curhat sama kamu. Mau nggak kamu dateng ke rumahku?”

“Ha? Dateng ke rumahmu? It’s impossible Vie! Gue lagi sibuk!” kali ini aku tercakat, jadi kubiarkan benih-benih air mata yang deras terjun di pipiku.

“Eh Vie! Kamu kan udah nggak kaya lagi? Jadi buat apa kita dateng kerumahmu? Mau ngasih makan apa emangnya?” Harga diriku terinjak-injak setelah mendengar ucapan kasar Meli.

“Jangan berharap kita mau dateng ndengerin curhatmu lagi Viella! Jujur aja, kita nyesel sahabatan sama kamu!” aku menangis tanpa suara sejadi-jadinya, ku jatuhkan Handphonku ke tanah, aku menutup telingaku kuat-kuat, masih terdengar makian dari Ajeng, Meli, dan Fera. Aku tak sanggup mendegarnya, jadi aku menutup Handphonku. Kini aku tahu apa masalahnya. Mereka tidak menganggapku sebagai sahabat sepenuh hati, mereka tidak menginginkanku, mereka hanya mengincar harta dan kebaikanku. Sahabat macam apa kalian? Ku flashback kembali memoriku, saat ada Lia seorang temanku yang miskin mengajakku berkenalan lalu aku hanya menampik tangannya, saat Fani menawrkan bantuanku untuk mengerjakan Pr lalu aku menolaknya sambil menghinanya. Aku memang pantas mendapatkan semua ini, baru kusadari betapa sombongnya diriku dulu. Aku berniat mendatangi rumah mereka lalu meminta maaf dan mengajaknya berteman, tapi bukan sekarang, saat ini aku sedang menikmati kepedihan yang ku alami.

Minggu-minggu berikutnya deritaku bertambah parah, teman-teman sekelasku mengejekku karena nilai ulanganku paling rendah. Dan ke-3 sahabatku tidak ada untuk membelaku. Lalu, aku dituduh mencuri uang kas milik kelas. Ke-3 sahabatku tak jua muncul. Hal buruk lainnya juga terjadi padaku, namun mereka tidak pernah muncul untuk membelaku, membantuku, menyemangatiku, ataupun menasehatiku. Aku benci hal ini!

Hari Minggu yang menurutku sangat kelam, karena kepedihanku belum berkurang juga. Tapi aku sudah sedikit tenang, dan aku turun memasuki garasi yang sudah tidak ada mobilnya untuk mengambil sepedaku. Ku tuntun perlahan-lahan sampai ke gerbang rumah, lalu kuayuh menuju rumah yang hanya terbuat dari bambu milik Lia dan keluarganya. Aku mengetuk pintu 3 kali dan beberapa detik setelahnya kudapati wajah Lia yang menurut diagnosaku ia sedang heran atas kedatanganku.

“Viella…” Lia berkata padaku sambil menutup sebagian mulutnya. Tanpa basa-basi aku langsung menarik pergelangan tangannya.

“Aku mau ngomong sama kamu, ayo kita jalan-jalan sebentar.” Secara perlahan Lia melepaskan tanganku dari pergelangan tangannya, aku sedikit terkejut.

“Eh…, aku bilang sama ibukku dulu ya?” aku hanya menganggukkan kepala, Lia memasuki rumahnya dan terdengar sayup-sayup pembicaraan antara Lia dan ibunya yang aku tidak tahu pasti, beberapa menit setelahnya Lia sudah memboncengkanku, aku hanya mengatakan ‘kiri…kanan’ untuk memberi petunjuk. Beberapa saat, kami sudah sampai di taman rumahku.

“Eh Lia, ini rumahku jadi kamu tenang aja, aku mau menjemput Fani sebentar.” Lia hanya manggut-manggut heran menatap punggungku yang mulai berlalu. Aku menghampiri rumah Fani dan mengajaknya persis seperti aku mengajak Lia, lalu setelah melalui perjalanan yang lebih jauh, kami sampai di taman bunga rumahku.

“Nah, Lia…Fani, aku mau ngomong sama kalian.” Ku pandangi satu-persatu wajah aneh Lia dan Fani. “Aku mau minta maaf kalau aku pernah salah sama kalian.”

“Ah Viella, itu kan udah lama… jadi aku udah maafin kamu dari dulu kok!” kata Fani.

“Bener nih?” Aku mengembangkan senyum manisku.

“Iya Vie, aku juga udah maafin kamu kok.” Lia menimpali.

“Kalau gitu, gimana kalau kita sahabatan? Please!” Aku memohon dengan sepenuh hati, kuperhatikan ekspresi Fani dan Lia yang terkejut. Lalu keduanya mengangguk senang. Kini aku memiliki sahabat yang menerimaku apa adanya.

3 bulan telah berlalu, hidupku sedikit berubah. Aku bersenang-senang dengan Fani dan Lia, usaha papaku mulai bangkit lagi, dan hubunganku dengan Ajeng, Meli, dan Fera tetap sama saja, juga pada aku dan Danish, aku belum bisa melupakannya. Dan saat aku memikirkan kenangan-kenangan indahku bersamanya, tiba-tiba saja handphoneku berbunyi, kulihat ada 1 panggilan dari… Da…Nish. Oh tidak! Aku buru-buru mengangkatnya.

“Halo…” suara Danish ragu.

“Ada apa Danish?” Tanyaku curiga.

“Aku mau ngomong sama kamu, lewat Hp aja ya?” aku semakin deg-degan, tiba-tiba dia melanjutkan, “Vie, aku nyesel mutusin hubungan kita. Ternyata aku salah, dia nggak setia sama aku. Gimana kalau kita balikan lagi?” Balikan? What?

“Kamu serius nih?” Aku menjawab dengan perasaan yang tak karuan.

“Iya, aku serius Vie!” ku dengar dari suaranya menyatakan bahwa dia tulus. Hatiku berbunga-bunga, ini adalah kali kedua setelah 1 tahun yang lalu.

“Iya… kita balikan lagi… aku…mau.” Aku sangat lega, perasaanku yang tidak pernah berpaling pada Danish kini dibalasnya.

“I love you, Viella.”

“I love you too, Danish.” Setelah ada bunyi klik dari handphoneku, aku merebahkan diriku di atas mekaran bunga-bunga Dafodil yang harum. Ternyata setelah Danish memberikanku kepahitan, kini dia menaburiku sejuta kemanisan.

Aku mendengar Mama memanggil namaku dari kejahuan sana, aku segera beranjak pergi dan menemuinya, dari nada Mama memanggilku, biasanya akan ada berita gembira, dan aku benar.

“Ada apa, Ma?” Aku bertanya dengan memasang wajah penasaran.

“Ternyata yang membuat usaha Papa bangkrut adalah karyawannya sendiri, dia korupsi dan apa kau tahu, Viel?” aku berusaha menebak-nebak dalam otakku, namun aku pasrah dan kubiarkan Mama memberitahuku, “Karyawan itu sudah ditangkap polisi, dan uangnya sudah dikembalikan. Jadi, perusahaan kita akan jaya kembali.” Mama melebarkan mulutnya tanda bahagia, in memelukku.

“Oh… aku sangat senang, Ma!” Aku berteriak untuk menyatakan perasaanku. Aku berniat untuk menari-nari dan melompat-lompat sebelum seorang pembantuku memberitahu bahwa ada 3 orang temanku. Aku merasa heran, siapa? Aku langsung berlari keluar rumah dan kudapati wajah-wajah yang sangat familier bagiku, mereka adalah ke-3 sahabatku yang berkhianat hanya gara-gara kondisi keluargaku.

“Viella, maafkan kami.” Ajeng memulai sambil menatap lekat-lekat bola mataku.

“Setelah kalian tahu bahwa usaha Papaku sudah tidak bangkrut!” Aku mencoba menyindir mereka.

“Oh ya? Tapi bukan karena itu, kita nyadar, Vie! Kita emang salah.” Kulihat Fera menitikan beberapa butir air mata.

“Setelah tahu kalau aku nggak miskin lagi!” ku ulangi untuk membalaskan rasa sakitku.

“Viella, maafkan kita! Kita bisa perbaiki semuanya, klita bisa sahabatan lagi kayak dulu, kita bakal saling menerima apa adanya, Vie!”

“Oke, kita udah nggak musuhan lagi! Tapi ada satu yang harus kalian ingat, you are not my friends! Kalian emang gak pantas buat aku.” aku menghela nafas, “aku menyesal berteman sama kalian. Di mana kalian disaat aku sedang sedih? Aku nggak percaya pada orang-orang yang mengatakan… sahabat selalu ada disaat suka maupun duka.” Aku menelan ludah sambil memperhatikan bola mata mereka, “Oh Tidak! Aku salah, aku memang percaya bahwa sahabat itu ada disaat kita duka maupun duka. Hanya saja aku lupa, bahwa kalian bukan sahabatku.”

“Okelah Vie, kalau itu maumu! Kita nggak akan pedulilagi sama kamu!” Meli membentakku dan menarik lengan Fera dan Ajeng. Air mataku merebak, kulihat di seberang sana Fani dan Lia berlari ke arahku, entah kenapa amarahku timbul. Di saat seperti ini, mereka hanya aka merusak mood-ku. Kali ini aku benar-benar ingin sendiri, seketika aku menjadi benci pada pertemanan yang ku alami. Dalam bentuk apapun pertemanan itu, saat ini aku tidak ingin merasakannya. Saat ini saja. Dan bila harus memilih antara cinta dan persahabatan, aku memilih ‘Cinta’.

Saat ini saja.

Ini semua hanya soal waktu.

Biarkan waktu menyelesaikannya.

TAMAT

0 komentar:

Posting Komentar

 

Satu Cangkir Teh Tawar Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template