Jumat, 09 Januari 2015

Kertas Cinta


Ya, Nisa nama panggilannya. Pengurus Panti Asuhan Sajada memperkenalkanku pada gadis mungil ini, yang bersedia untuk ku wawancarai. Ia duduk santai dengan jilbab panjang dan rok yang menutupi kakinya, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan dengan jujur dan polos, bahkan sekali-kali ia gantian menanyaiku berbagai macam hal. “Mbak besok mau ngelanjutin kuliah di mana?” tanyanya penasaran, “UGM, dek,” jawabku. Tak kusangka perempuan mungil itu berdoa dan mengamini permohonanku, membuat air mata memenuhi kelopak mataku, kuusahakan agar tidak jatuh, malu menangis di hadapan anak setegar itu.
Nisa merupakan anak yang ramah dan menyenangkan, ia membawaku berputar-putar ke belakang panti asuhannya, mengenalkanku pada teman-teman santri dan juga kakak pengasuh, bahkan mengizinkanku melihat kamar tidurnya. Saat itu waktu sudah menunjukan pukul 2 siang dan aku belum sholat dhuhur, oleh karena itu aku sholat di mushola di samping panti, dan Nisa bersedia menungguku. Sholatku menjadi kurang khusyu’ karena aku memikirkan kehidupan Nisa yang kurang beruntung, memikirkan jawaban-jawaban Nisa yang menggetarkan hati, dan juga jalan pikirnya yang begitu dewasa menghadapi kenyataan yang ada.
“Kok kamu pingin jadi TKI, sih? Kenapa nggak melanjutkan SMA, kalau bisa nanti sampai kuliah, kan bisa dapet beasiswa?” tanyaku, merasa sangat tidak percaya mendengar cita-cita Nisa menjadi TKI.
“Enggak ah, ya kalau disuruh mama aja, aku mau ngelanjut SMA,” jawabnya santai, sambil berjalan menuju kantor depan, tempat kami melakukan wawancara tadi.
“Kalau misalnya kamu SMA, terus kuliah, kamu pingin jadi apa, Nis?” tanyaku lagi
“Hmm, apa ya? Pingin jadi dokter, aku takut darah. Pingin jadi guru, nanti muridnya lari semua,” jawabnya guyon, yang membuat aku terkekeh geli. Betapa masih polos dan jujurnya ia, atau karena ia sudah terlalu dewasa?
Jam menunjukan angka 3 sore saat aku hendak berpamitan dengan Nisa. Setelah aku berterima kasih dan memberikan sedikit nasihat dan motivasi, Nisa memberiku sebuah kertas putih yang telah ia ubah menjadi bentuk cinta, “Nih, buat embak. Makasih ya, mbak” katanya yang membuatku ingin menangis. Aku merasa malu karena tidak bisa memberi apa-apa untuk ‘adikku’ ini, semoga Nisa menjadi orang yang sukses dunia akhirat kelak, Ya Allah. Aamiin!

0 komentar:

Posting Komentar

 

Satu Cangkir Teh Tawar Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template