Kamis, 01 Januari 2015

Dikejar?


Dikejar?
Malam ini rumah terasa sepi, ayahku pergi ke Bali. Mama menonton TV sedangkan kakakku belajar untuk UAS besok. Aku menghabiskan waktu di kamar, benar-benar tidak sehat seharian ini, tidur-bangun-tidur-bangun-makan-tidur-bangun, namun apa boleh buat? Hingga saat ini saja kantukku belum sembuh akibat begadang pada malam tahun baru kemarin. Oh iya, sekarang tanggal 1 Januari 2015, selamat tahun baru, dunia maya, orang tua, keluarga, guru-guru, teman-teman, dan juga kamu :3
Seperti yang kutuliskan sebelumnya, malam tahun baru kuhabiskan di rumah sahabatku, Lela. Tahun baru tinggal 2 jam lagi, ketika kami memutuskan untuk ke luar rumah, membeli air mineral karena tenggorokan kami serak akibat kebanyakan makan chiki. Dengan dua motor, kami berbonceng-boncengan untuk mencari indomaret terdekat (yang tetap saja jauh). Aku membonceng Nadiaz, sementara Icha berboncengan dengan Lela. Menembus dingin dan gelapnya malam, kami pun sedikit ngebut, alasannya takut. Entah takut hantu atau takut dengan gondes yang ngangkring di pinggir jalan.
Setelah beberapa lama memblusuki desa-desa, akhirnya kami menembus jalan raya. Sedikit menurunkan kecepatan untuk mencari indomaret yang ternyata TUTUP. Kami kesal kemudian memutuskan untuk pergi ke arah timur, mencari indomaret yang lain. Hingga pada akhirnya kami melihat sebuah warung kecil, namun dari jauh kelihatannya lengkap isinya. Kami pun menyebrang jalan dan berhenti di depan warung tersebut. Entah sudah sejak tadi atau baru saja, yang jelas kami awalnya tidak sadar, ada banyak gondes akut sedang menangkring di atas motor mereka sambil bersiul-siul. “Hei mbak, hei mbak” begitu kata mereka sambil bersiul-siul. Tak satu pun dari kami melirik ke arah the gondes itu, kami sangat ketakutan. Dengan tangan gemetar dan tubuh menggigil, kami langsung mengambil 2 botol air mineral besar dan segera membayarnya. Para gondes itumasih saja menggoda kami, dengan gugup dan terburu-buru kami langsung menaiki motor kami dan ingin saja segera menghilang dari tempat itu.
Kulihat para gondes itu menancapkan kunci motor mereka masih sambil memanggil-manggil kami dengan sebutan ‘mbak’. Bayang-bayang kejadian menakutkan terlintas di pikiranku, aku dan diaz lagsung pancal sejauh-jauhnya dan secepatg-cepatnya, sementara Lela dan Icha menyusul di belakang. Entah halusinasi atau apa, yang jelas aku dan Nadiaz mendengar suara motor berbondong bondong ngebut di belakang kami. Aku tak berani melihat ke belakang. Kami berteriak-teriak, menyebut nama Allah.
Siapapun itu yang dibelakang kami, dari gondes manapun itu, semoga tidak membawa pedang, ya Allah. Doaku dalam hati kala itu. Suara-suara motor itu semakin keras dan semakin mendekat, aku dan Nadiaz membaca surah Al-Fatihah sambil menggigil. Tidak terasa sampai-sampai aku ngeces. Bagaimana nasib Lela dan Icha di belakang sana? Bagaimana nasibku dan Diaz nanti? Oh Tuhan, aku benar-benar tidak sanggup membayangkannya. Jalanan sangat gelap, hingga kami kebingungan mencari pertigaan tempat kami belok menuju desa Lela. Rasanya jadi jauh sekali. Setelah ketemu, dengan sedikit mendadak kami belok. Barulah saat itu aku berani menoleh kebelakang.
9 detik setelahnya, Lela dan Icha muncul di belakang. Huft, begitu leganya aku dan Diaz. Kulihat wajah Lela yang berseri-seri dan segar, sedangkan Icha sedang senyum-senyum bermain Hp. Kok? Kok bisa? Memangnya mereka tidak takut? Atau aku dan Diaz saja yang lebay nggak ketulungan? Aku dan Diaz terheran-heran dengan pola pikir mereka, di situasi yang genting seperti ini, bisa-bisanya mereka santai, sedangkan aku dan Diaz sudah berteriak-teriak seakan mau mati saja.
“Lha wong nggak ada yang ngejar kita, kok” kata Icha santai, lalu lanjut bermain hape.
Gubrak! Aku dan Diaz mlengos.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Satu Cangkir Teh Tawar Copyright © 2012 Design by Ipietoon Blogger Template